Oh Seungmin as Edwin Hanarta
mentioned only:
Yaochen as Ivan Hanarta
Kim Doyeon as Stella Hanarta
# bxb, lokal!au, high school setting, dysfunctional household, abusive parent, hurt comfort, kissing, but they're technically bestfriends (and stays so).
[this serves as a prelude to my project which will be coming soon]
Rangga bilang usianya tiga belas tahun lebih dua hari kala bapaknya memutuskan untuk pergi beli rokok di warung depan gang dan tak pulang lagi. Ibunya tidak menangis jerit-jerit, hanya menatap Rangga lekat-lekat, kesumat membakar iris cokelatnya, mengucap kalimat bak serpihan batu tajam yang selamanya mengganjal di benak Rangga; “Matamu mirip punya Bapak.”
Matamu mirip punya Bapak, kamu laki-laki seperti Bapak, kamu anak Bapakmu. Apa yang akan menghentikanmu menjadi Bapakmu di kemudian hari?
Mungkin satu atau dua kali Edwin pernah bertemu bapaknya Rangga, tak pernah sampai kontak mata atau bertegur sapa. Untuk alasan yang dulu tidak Edwin pahami, pria itu kerap memberinya lirikan dengki. Rangga tak punya sepasang mata gelap yang tak acuh. Miliknya hangat dan penuh cerita, selalu hidup kala ia memetik senar-senar gitar sambil melantunkan lagu-lagu kesukaannya. Jika ia boleh mewakili Rangga membantah sang ibu, ia akan bilang betapa ia keliru.
Bahagia anak itu adalah musik. Edwin sering datang menjemput Rangga ke sekolahnya — tempat itu letaknya bertetangga dengan tempat pembuangan sampah tapi Edwin tak pernah peduli banyak — lalu mengajaknya mampir ke toko alat musik kecil di Kebon Kalapa. Tak bosan ia menemani anak itu berandai-andai tentang koleksi gitar dan bas yang akan ia miliki di kemudian hari. Sungguh, Edwin akan belikan Rangga semua gitar di dunia, kalau saja urusan perutnya bukan masih tanggung jawab orang tua.
Baginya, Ananda Rangga Sangita terlahir untuk mimpi-mimpi tinggi. Tempatnya di bawah benderang lampu sorot bersama sorak-sorak lautan manusia yang mencintai setiap nada yang ia mainkan. Ia terlalu besar untuk dikungkung dalam rumah kontrakan satu kamar di pelosok gang tikus. Terlalu besar untuk Kota Kembang. Terlalu bersinar untuk dikaburkan awan-awan mendung kehidupan.
Kini delapan belas tahun usia mereka, Edwin sudah melihat Rangga menangis mungkin sepuluh kali. Lima di antaranya serius, yang lainnya sepele. Semacam jatuh dari sepeda dan membuat lututnya baret-baret. Yang kali ini pun tampaknya serius.
Rambutnya yang menyentuh kerah basah diguyur hujan, Edwin masih tak habis pikir bagaimana ia menghindari gunting-gunting tak kenal belas kasih pada razia hari Senin. Sepatu kanannya menganga bagai mulut monster, sepatu kirinya di-stapler dan di ambang garis kematian. Percayalah, Edwin berulang kali menawarkan — memaksa — Rangga untuk mengambil satu dari puluhan pasang sepatu di raknya dan berulang kali juga laki-laki itu menolak. Putih abu-abunya yang kumal kontras dengan seragam sekolah Katolik biru cerah milik Edwin ketika ia setengah ambruk ke pelukannya.
“Kamu baik-baik aja, Ngga?” Edwin lontarkan pertanyaan retoris itu sambil mengelus rambut sahabatnya penuh afeksi. Jawabannya hanya sebuah gelengan lemah.
Kamar Edwin kembali menjadi suaka untuk Rangga sore itu seperti sore-sore lainnya, dan Edwin selalu menerima tanpa tanya. Rumah Edwin sudah jadi rumahnya, saudara-saudara Edwin juga sudah seperti saudaranya sendiri. Semua akan ia bagi dengan Rangga tanpa kecuali dan pamrih. Kendati demikian, orang tua Edwin tidak menjadi orang tuanya juga. Sebab pada Edwin dan kakak-kakaknya saja mereka pelit kasih.
Kasih sayang Mama dan Papa bersyarat, bahkan pada Ivan yang rela menggantung mimpinya sendiri setahun paska lulus kuliah demi lanjutkan bisnis kuliner Papa. Ide-ide bisnis Ivan tak pernah menerima pengakuan, bahkan jika di kemudian hari terbukti sukses. Apa lagi Stella yang masih kuliah semester tua dan malah sibuk mengejar karir modelling. Mama tak hentinya komentar bahwa kakak perempuannya itu menyia-nyiakan hidupnya dan gagal menjadi wanita, apa pun maksudnya itu. Setelah pertengkaran dua wanita itu memuncak suatu malam, Stella bersumpah pada Edwin bahwa ia tidak akan menginjakkan kaki lagi di rumah ini begitu ia berhasil pergi. Belum pernah ia lihat kakaknya semarah itu.
Ya, keluarganya tidak sempurna seperti di iklan merk teh celup ternama. Tapi ia punya Ivan dan Stella, satu dua ketidaknyamanannya tidak sebanding dengan hidup Rangga yang penuh turbulensi. Rasanya tak tahu diri mengeluhkan hidup yang berkecukupan di depan Rangga. Rangga yang duduk di sisinya sambil terisak, kepala bersandar lemas pada tepi ranjangnya seakan sudah kering kerontang seluruh daya juang yang ia punya.
Edwin menirukan posisinya agar mereka saling berhadapan, kening hampir bersentuhan, ritme napas hampir seirama. Ibu jarinya mengusap-usap pergelangan tangan kanan Rangga yang merah meradang, tak ayal habis dicengkeram terlalu kuat hingga jari-jari si pelaku masih membayang di kulitnya. Pipinya dinodai bekas kemarahan yang serupa. Kedua matanya redup, masih digenangi air mata yang jatuh bulir demi bulir selambat gerimis di luar.
“Win,” panggil Rangga, setengah berbisik bukan karena ia sengaja.
“Ya?”
“Ibu bilang aku udah ngancurin hidupnya. Aku yang bikin Ibu jadi sengsara. Gara-gara aku Ibu hidup susah.”
Satu persatu air mata yang jatuh ke pipinya Edwin hapuskan, sama lembut sebagaimana ia mengusap pergelangan tangan anak itu tadi. Dadanya ikut sesak. Bagaimana rasanya mendengar kalimat-kalimat sekeji itu dari mulut wanita yang melahirkannya ke dunia? Edwin tak akan pernah tahu pasti, yang ia tahu sahabatnya sedang terluka. Luka tetak yang tak pernah berhenti berdarah dan tak hentinya ditikam ulang.
“Itu nggak bener. Kamu gak ngancurin hidup siapa-siapa. Kamu gak ngancurin hidup aku.”
Rangga tertawa kecil, untuk beberapa sekon sudut-sudut bibirnya menarik senyum tipis, sebelum kembali jatuh menjadi lengkungan sendu. Pandangannya pada Edwin, namun seakan menerawang menembus tubuh fisiknya.
“Gak ada yang sayang aku ya Win di dunia ini? Aku gak pantes buat disayang ya?”
“Kamu bisanya ngomong gitu ke aku? Emang aku gak sayang kamu?” Edwin tak maksud terdengar frustasi, takut menoreh luka lagi ketika sahabatnya sudah lelah betempur dengan hidup. Rangga kelihatannya tak ambil hati, senyum itu muncul lagi di bibirnya. Kala mata mereka bertemu, binar-binar yang Edwin kenal baik lamat-lamat kembali meski air matanya belum pergi.
“Makasih, Win.”
“Gak perlu makasih.”
“Aku gak mau pulang.” Rangga nyaris berbisik lagi. Sungguh, Edwin juga tak mau Rangga pulang. Lagi pula, pulang ke mana? Apalah rumah yang tak menginginkanmu?
“Gak usah pulang. Di sini aja dulu. Pinjem baju aku.”
“Boleh?”
“Perlu nanya lagi?”
Berniat mengambilkan baju ganti untuk Rangga, Edwin bersiap untuk bangkit berdiri. Sigap Rangga menangkap lengannya, menahannya untuk tetap tinggal.
“Kenapa?” tanya Edwin.
“Jangan ke mana-mana.”
Memang siapa Edwin untuk menolak permohonan yang begitu tulus dan putus asa? Ia mendekatkan duduknya, membiarkan Rangga bersandar pada bahunya, membasahi lengan seragamnya yang selalu disetrika rapi itu dengan air mata dan ingus.
“Kalo udah kuliah nanti kita tetep bakal temenan, kan?”
“Sampe kita udah pake adult diaper juga aku masih bakal temenan sama kamu,” jawab Edwin.
“Kalo aku mati duluan?”
“Ya, aku nyusul.”
Edwin menoleh, merasakan bahunya yang mendadak ringan ketika Rangga mengangkat kepala dan menegakkan duduknya. Hujan di luar sudah berhenti sejak sepuluh menit lalu, menyisakan tuk tuk tuk konstan dari tetesan air di dahan-dahan pohon yang jatuh ke atap. Waktu Edwin seakan melambat, dan ia tak bisa tak bertanya-tanya, mungkinkah Rangga merasakan hal yang sama? Tangannya menangkup wajah Rangga, menghapus jejak-jejak air mata di pipi. Mereka belum pernah sedekat ini — secara fisik — setidaknya jika ingatan Edwin akurat. Napas lelaki itu hangat mengembus ke bibirnya, pucuk hidungnya menyentuh milik Edwin, lembut seperti kecupan hantu.
Apakah itu intuisi? Atau sayang? Afeksi membuncah-buncah dan melimpah yang mendorong Edwin memiringkan kepala supaya bibir mereka menyatu. Lantas apa yang membuat Rangga membalas ciumannya begitu hangat seakan mereka sepasang kekasih? Ciuman itu nyaman, satu kecupan manis yang singkat dan satu yang bertahan lebih lama karena Rangga enggan melepas. Nyaris membuat Edwin meledak. Tak ada pagutan tergesa-gesa dan kabut nafsu. Hanya sayang, sayang yang begitu banyak. Impulsif.
Bingung. Edwin bingung setengah mampus. Pun Rangga membisu, pandangannya jatuh ke lantai kamar.
“Aku mau nitip beli makan ke Ce Stella. Kamu mau apa?” Edwin memecah sunyi, fokusnya kembali pada Rangga.
“Apa aja. Kamu pilihin.”
“Oke. Bentar, ya?”
Rangga mengangguk, kali ini tak menahan kepergiannya. Demi Tuhan, ia butuh sesaat untuk memproses apa pun itu yang barusan terjadi. Ia ingin tahu apa yang tengah bersemayam di kepala Ananda Rangga Sangita. Tidak akan ada yang berubah di antara mereka kan? Apa ia baru saja melempar persahabatan seumur hidup mereka ke insinerator?
Anehnya, ini tak terasa salah seperti yang ia pikir.
Langkahnya terhenti di ambang pintu. Edwin berbalik, menemukan Rangga menatapnya tanpa antipati. Di sanalah dia, bersandar pada ranjangnya dengan senyum simpul di bibir. Edwin balas tersenyum. Di dalam pikirannya ia dan Rangga baru saja membuat kesepakatan untuk membuang hari ini ke jurang lupa.
Dalam beberapa bulan, mereka akan disibukkan dengan universitas. Dalam beberapa tahun memori akan makin pudar.
Mereka akan lupa. Mereka bisa lupa.
Edwin harus lupa, meski seluruh tubuhnya menolak.